Jumat, 11 Februari 2011

Hiu Ternyata Buta Warna


Ikan-ikan hiu di Sea World, Jakarta

Hiu ternyata buta warna. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan hasil studi yang dipublikasikan para ilmuwan di jurnal Naturwissenschaften Selasa kemarin (18/1/2011).
Untuk mendapatkan kesimpulan itu, peneliti melakukan observasi pada mata hiu dengan menggunakan teknik micro-spektofotometri. Mereka mengamati sel-sel penyusun retina mata pada 17 spesies hiu yang ditangkap di wilayah Queensland dan Australia Barat.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa 10 dari 17 spesies hiu tidak memiliki sel berbentuk kerucut, sel yang berperan dalam membedakan warna. Sementara, 7 spesies lain hanya punya 1 jenis sel kerucut, yakni jenis yang peka pada warna hijau (panjang gelombang 530 nanometer).
Para ilmuwan menemukan, kebanyakan spesies hiu hanya memiliki sel berbentuk batang. Sel tersebut sangat sensitif terhadap cahaya, mampu membedakan kontras dan memungkinkan pengelihatan warna. Namun, sel itu tidak mampu membedakan warna.
"Hasil studi kami menunjukkan, dibandingkan dengan warna, kontras dengan latar mungkin jauh lebih penting bagi hiu untuk mengidentifikasi objek," kata Nathan Scott Hart, pemimpin proyek penelitian ini yang berasal dari University of Western Australia.
Dalam wawancaranya dengan AFP kemarin, ia mengungkapkan, "Pengetahuan ini bisa membantu kita untuk merancang alat pancing, peralatan surfing dan pakaian renang yang kurang atraktif di mata hiu." Hal itu bisa mencegah kemungkinan manusia untuk dimangsa oleh si predator laut ini.
Kemampuan membedakan warna memang relatif tidak penting bagi hewan laut. Di kedalaman lautan, warna akan memudar dan menghilang. Sebelumnya, peneliti lain juga menemukan bahwa lumba-lumba, anjing laut dan paus juga hanya memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna hijau.

Angelfish
Berdasarkan penelitian terhadap ikan malaikat (angelfish), ilmuwan menyimpulkan bahwa ikan tersebut bisa membedakan banyak atau sedikit plus mampu berhitung dari 1 sampai 3.
Gerlai dan Luis Gomez-Lalpaza dari University of Oviedo, Spanyol, tertarik dengan anggapan bahwa ikan malaikat memilih bergabung ke dalam kawanan besar ketika berada di lingkungan asing. Mereka melakukan hal itu demi keamanan.
Gerlai dan timnya meletakkan ikan dalam sebuah tangki khusus. Ikan tersebut dihadapkan pada dua kawanan dengan jumlah yang berbeda. Para peneliti lalu mencatat kawanan yang dipilih ikan tersebut.
Hasilnya, ikan malaikat mampu memilih kawanan yang lebih besar ketika perbedaan jumlah antara kedua kawanan adalah dua kali lipat. Ketika perbedaan jumlah lebih kecil dari dua kali, pilihan ikan tidak dapat diprediksi. Dengan temuan ini, para peneliti menarik kesimpulan bahwa ikan malaikat bisa memprediksi jumlah kawanan.
Selain mampu memprediksi jumlah, ikan malaikat juga bisa berhitung secara lebih presisi. "Misalnya, ikan dapat membedakan 2 dengan 3," Gerlai mencontohkan. "Kemampuan ini menunjukkan perhitungan individual, bukan sekadar memperkirakan jumlah," katanya. Gerlai juga menjelaskan, kemampuan berhitung ikan malaikat terbatas hanya sampai 3.
Para ilmuwan menerka, kemampuan berhitung pada ikan ini tidak punya keuntungan bagi ikan. "Makanya, kemampuan ini tidak berevolusi," ujar Gerlai.
Tidak seperti kemampuan berhitung, kemampuan memprediksi jumlah kawanan punya keuntungan bagi ikan malaikat. Mereka memilih kawanan yang mereka prediksi lebih banyak demi keamanan dan pencarian makanan.

Hidup 34.000 Tahun dalam Kristal Garam


Di kawasan Death Valley, California, AS ini tak tampak kehidupan tapi siapa sangka ada mikroorganisme yang bertahan hidup 34.000 tahun dalam kristal garam.
Ilmuwan yang melakukan penelitian di Death Valley, kawasan gurun di California bagian selatan, AS, menemukan mikroorganisme berusia 34.000 tahun yang terjebak dalam kristal garam. Mereka menemukannya saat tengah berupaya menelaah kristal garam tersebut untuk studi tentang iklim.
"Ini kejutan besar bagi saya. Mikroorganisme tersebut hidup tapi tak menggunakan energi untuk bergerak. Juga tidak bereproduksi. Hanya bertahan hidup," kata Brian Schubert, peneliti dari University of Hawaii, si penemu mikroorganisme tersebut.
Temuan tersebut dipublikasikan dalam Jurnal Geological Society of America. Bersama dengan organisme tersebut, ditemukan alga jenis Dunaliella yang kemungkinan berfungsi sebagai sumber makanan.
"Kristal garam telah menjebak mikroorganisme di dalamnya seperti kapsul waktu," ujar Tim Lowenstien, profesor geologi dari Binghamton University yang terlibat dalam penelitian.
Mikroorganisme yang ditemukan termasuk jenis prokariotik, atau tidak memiliki membran inti sel. Schubert mengatakan, hal selanjutnya yang harus dicari adalah bagaimana mikroorganisme bisa bertahan hidup selama ribuan tahun.
Hasil studi prokariota dalam jangka panjang bisa melengkapi hasil penelitian yang ada. Selain itu, hasil studi juga bisa membantu ilmuwan mengekplorasi kehidupan mikroorganisme, baik di bumi maupun bagian tata surya lain.

Burung Bulbul Kepala Botak Muncul Lagi


Burung bulbul berkepala botak (Pycnonotus hualon).
Spesies burung bulbul berkepala botak di daratan Asia untuk pertama kalinya ditemukan lagi di Laos setelah tak pernah kelihatan lagi selama sekitar 100 tahun. Nama latin spesies itu adalah Pycnonotus hualon.
Quentin Wheeler dari International Institute for Species Exploration, Arizona state University melaporkan penemuan ini.  Spesies bulbul Asia ini memiliki karakteristik yang khas. Kepalanya botak dengan detail bulu dan warna yang unik. Kicauan dan lengkingan pada setiap lagu yang dikicaukan juga berbeda dengan bulbul lain.
Nama spesies ini diambil dari kata dalam bahasa Lao, hualon yang berarti "kepala botak". Spesies ini ditemukan oleh ilmuwan dari Universitas Melbourne dan Wildlife Conservation Society belum lama ini.
Bulbul Asia ini selama lebih dari 100 tahun telah dideskripsikan keberadaannya di kawasan pegunungan kapur Laos. Upaya penemuan burung di Laos ini dimulai kembali tahun 1990-an setelah 40 tahun mengalami kevakuman dan baru sekarang mendapatkan hasil. Burung tersebut sudah sangat langka dan terancam punah.

Dunia Khawatir Hama Lalat Putih Raksasa


Hama lalat putih raksasa (Aleurodicus dugesii).
Muni Muniappan, ahli serangga dan direktur Agency for International Development-funded Program di Virginia Tech menemukan adanya hama lalat putih raksasa (Aleurodicus dugesii) di Jawa Barat. Muniappan mengatakan, wilayah Jawa Barat merupakan wilayah Asia pertama di mana spesies hama ini terkonsentrasi dan berkembang biak.
Saat menemukan hama ini, Muniappan tengah menjalankan penelitian bersama tim ilmuwan dari Clemson University dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun beberapa ilmuwan yang terlibat adalah Aunu Rauf, profesor ilmu serangga dari IPB, serta Gerry Carner dan Merle Shepard yang merupakan profesor ilmu serangga di Clemson University.
Muniappan mengatakan, bahwa ia mengetahui keberadaan hama ini pertama kalinya di tepi jalan wilayah Cipanas. Sesaat setelah penemuannya, Muniappan mengambil sampel hewan itu dan mengirimkannya ke seorang spesialis taksonomi lalat putih di California Department of Agriculture. Hasil analisa membuktikan bahwa hewan itu benar lalat putih raksasa.
Lalat putih sendiri merupakan hama yang berasal dari Amerika tengah, menyerang tanaman berkayu dan berbunga, termasuk tanaman buah dan Hibiscus. Hama ini menyerang tanaman dengan menghisap nutrisi, kemudian meninggalkan senyawa kaya gula yang akan menjadi hitam seperti jelaga, menyebabkan tanaman tak bisa berfotosintesis dan akhirnya mati.
Nimfa hama ini tumbuh dari telur yang biasanya terletak di bagian bawah daun dan memiliki lapisan lilin yang terlihat dari jauh. Konsentrasi hama jenis ini bisa menyebabkan kerugian besar dalam pertanian, seperti ketika hama menyerang ketela pohon di Afrika pada tahun 1980-an, mengakibatkan kerugian materi dan kelaparan.
"Kekhawatiran kami adalah, hama akan menyebar ke seluruh pulau di Indonesia dan negara tetangga di Asia Timur Laut dan Asia Selatan," kata Muniappan yang memimpin program kerja sama bertajuk Integrated Pest Management Collaborative Research Support Program. Jika telah menyebar, kerugian materi yang diakibatkan bisa tak terkira.
Muniappan mengatakan, memperingatkan pihak terkait dengan hasil penelitian ini bisa mencegah dampak bencana. "Ilmuwan di negara ini, di mana lalat putih raksasa belum tersebar luas harus mengambil langkah pencegahan. Misalnya bisa dilakukan dengan cara menginformasikan kepada publik dan karantina untuk mecegah dampak ekonomi serius," katanya.
Menurut Muniappan, langkah pencegahan dengan kontrol biologis, yaitu dengan mengintroduksi spesies yang menjadi musuh, merupakan langkah paling efektif dan mudah. Di Amerika Serikat saat ini telah ada dua spesies yang menjadi musuh hama ini, yakni Idioporus affinis and Encarsiella noyesii.
Diketahui, tanaman ornamental seperti poinsettia saat ini tengah dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia. Jenis tanaman tersebut merupakan inang potensial hama ini. Dengan mengontrol persebaran hama tersebut, maka kerugian materi akibat serangan hama pada jenis tanaman tersebut bisa dicegah.

Ular Dulunya Berkaki


Fosil Eupodophis descouensi yang memperlihatkan struktur kaki.
Ular ternyata dulu berkaki. Hal itu diketahui setelah ilmuwan mempelajari fosil ular berusia 95 juta tahun yang ditemukan tahun 2000 di Desa Al-Nammoura, Lebanon.
Berbeda dengan tulang kaki depan yang terlihat jelas, para peneliti harus menggunakan sinar X dan pencitraan resolusi tinggi tiga dimensi (3D) untuk bisa melihat tulang kaki belakang yang tersembunyi dalam fosil batuan.
Menurut Journal of Vertebrate Paleontology yang dikutip BBC, Selasa (8/2/2011), pertumbuhan kaki ular Eupodophis descouensi kian lambat hingga akhirnya hilang.
Para peneliti Museum Nasional d’Histoire Naturelle, Perancis, hanya menemukan tulang bagian pergelangan kaki. "Bisa jadi pergelangan kaki atau bagian kaki lain patah atau hilang seiring perjalanan waktu," kata Alexandra Houssaye dari museum itu.
Dari bukti-bukti yang ada, ular mulai kehilangan kakinya sekitar 150 juta tahun lalu.